4.3 Negara Modern dan Hak Asasi Manusia

Pergeseran rasionalisasi yang dibahas oleh Max Weber bukan satu-satunya sifat yang menjadi ciri perpindahan ke modernitas di Eropa Barat dan kemudian di seluruh dunia. Bentuk baru organisasi politik, yakni negara, muncul dari model negara kota dan menjadi paradigma pemerintahan yang dominan. Dalam puing-puing Kekaisaran Romawi Suci, para politisi menyatukan wilayah teritorial atas dasar praktik budaya dan bahasa bersama. Tetapi dengan perkembangan negara bangsa muncul kebutuhan untuk menentukan siapa yang “menjadi bagian” dan siapa yang tidak, untuk meratakan identitas yang kompleks dan hibrid, dan untuk mengikat kelompok orang ke suatu tempat. Jika apa yang menjadi Jerman setelah proses penyatuan tahun 1863-1871 tiba-tiba membentuk identitas supra-kelompok baru yang disebut “Jerman”, apa yang terjadi pada orang-orang yang tidak cocok dengan identitas baru ini?

Dengan munculnya negara bangsa, persoalan pluralisme menjadi sangat penting. Kelompok-kelompok yang mendefinisikan diri mereka sebagai “bangsa” dan yang memerintah—atau mencari—wilayah mereka sendiri melakukan berbagai pendekatan terhadap mereka yang tiba-tiba bukan bagian dari “bangsa” tersebut. Banyak episode yang lebih buruk dalam modernitas di seluruh dunia adalah ekspresi dari nasionalisme, karena “minoritas” dibungkam, dipaksa untuk pergi, atau dibunuh. Bahkan dalam demokrasi, persamaan hak—bahkan terkadang kepribadian—dari kaum “minoritas” dipersoalkan, yang terlihat di sepanjang sejarah rasisme dan chauvinisme identitas.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948—perjanjian pertama dari berbagai kesepakatan berikutnya yang membentuk Undang-Undang Hak Asasi Manusia Internasional—didorong oleh pembunuhan massal yang sistematis dan disetujui oleh negara terhadap orang-orang Yahudi dan juga orang-orang LGBTQ, Polandia, dan Roma Eropa dan Soviet selama perang Dunia Kedua. Perjanjian-perjanjian internasional ini berusaha untuk memajukan dan melindungi “kebebasan dasar” khususnya dari kesewenang-wenangan intra-negara.

Pada bagian ini, para siswa akan mengkaji sistem negara modern, pluralisme, dan hak asasi manusia dari perspektif Islam dan lainnya. Komunitas Muslim memiliki sejarah panjang organisasi politik—apa bedanya dengan sistem negara bangsa? Dan apakah kitab suci dan risalah teologis memberikan panduan tentang bagaimana pluralisme harus diberlakukan? Dapatkah orang memiliki martabat yang sama jika mereka tidak diberi hak yang sama? Terakhir, apakah pendekatan Islam terhadap hak asasi manusia secara fundamental berbeda dari rezim hak asasi manusia internasional yang ada saat ini?

Istilah Kunci:

  • Bangsa
  • Negara bangsa
  • Nasionalisme
  • Pluralisme
  • Hak Asasi Manusia
  • Minoritas

Foto: Ethnolinguistic Map of Myanmar. Kredit Gambar: Wikimedia, US CIA, 1972. Public domain.

Materi Pembelajaran: